Rabu, 26 Desember 2012

Kenapa sih Dia ?


"Kamu punya hati ga sih? Selalu aja ga pernah ngerti! Waktu kamu cuma sama temen lagi temen lagi. Kapan punya waktu buat aku? Kamu ga pernah anggap aku ada! Apa aku udah ga cukup berharga lagi di mata kamu?", dengan lancang aku berteriak di depan wajahnya. Di malam yang dingin, di persimpangan jalan dekat rumahku. "Justru kamu yang ga pernah ngerti! Aku butuh waktu. Kamu memang pacar aku, tapi pacaran bukan berarti harus selalu berdua kan? Aku bukan robot yang bisa seenaknya kamu atur!! Aku ga seperti laki-laki bodoh lainnya yang dengan mudah kamu atur", dia-pun membantah omonganku kali ini, dia tampak begitu emosi, baru kali ini aku melihat wajahnya dengan sorot mata yang berbeda. Aku terus mengatakan apa yang selama ini menjadi ganjalan di hati, "Tapi harusnya kamu bisa lebih peduli! Bukannya malah...", "Sudah! Aku lelah!" Dia memotong kata-kataku. "Aku sudah paham dengan sikapmu yang egois. Pernahkah kamu sadar, aku melakukan segalanya dengan ikhlas, tapi selalu saja terlihat kurang di matamu. Apapun yang aku lakukan selalu dianggap salah bagimu. Kamu seolah membunuhku secara perlahan. Teruslah menuntutku! Hingga aku tak bisa berbuat apa-apa lagi!", aku hanya bisa menundukan kepala, terdiam bisu, lidahku kelu, aku takut mengatakan hal yang salah lagi, aku mengerti mungkin kali aku salah. Tanpa terasa air mata yang sedari tadi ku bendung akhirnya menetes. Hatiku seolah dicambuk oleh kerasnya kata-katanya. Mungkin inilah puncak emosinya, puncak dari segala yang dia pendam dariku.

Aku berlari, menjauhinya, aku tak ingin dia melihat air mata ini terjatuh. Dengan harap cemas aku terus berlari tak tentu arah, tapi nyatanya dia tidak mengejarku, dia membiarkanku berlari sendirian, dia tidak memanggil namaku, di  malam yang dingin tanpa sedikitpun kehangatan. Terdengar bisik-bisik suara angin yang menyentuh lembut melewati telingaku. Aku masih tetap diam, masih dengan penuh harapan, masih dengan mata berbinar-binar, menunggu dia yang mungkin saja masih mencariku. Aku menunggunya semalaman suntuk, namun ternyata dia hilang, dia tidak datang padaku, dia tidak mencariku. Mungkin di malam itu, adalah terakhir kalinya aku bisa melihat wajahnya, aku bisa berbicara padanya, walaupun itu sebuah pertengkaran. Air mataku pun berderai membasahi pipi, namun kali ini ada yang berbeda, air mata yang lebih dingin dari sebelumnya, air mata tanda kehilangan. Entah mengapa aku merasa seperti orang yang sangat bodoh, melepaskan cinta yang nyatanya tulus, meninggalkan kasih sayang yang nyatanya tanpa pamrih. Badanku lemas, air mataku tak berhenti menetes, mungkin saat ini aku sedang berada pada sempitnya jalan penyesalan.

Sudah cukup lama, aku tak mendengar kabarnya. Sepertinya kali ini aku dan dia benar-benar berpisah. Aku hanya memejamkan mata, otakku yang terus menerus berimajinasi, mencoba menganggap semuanya baik – baik saja, mencoba berekspetasi jika dia pasti akan kembali. Tapi ketika aku membuka mata, tetap tak ada dia. Tak ada sorot mata teduhnya, tak ada lekukan manis senyumnya, tak ada barisan behel yang menghiasi giginya. Apa kali ini aku masih salah lagi ? Rasanya ingin sekali aku memutar waktu. Memperbaiki semua kesalahan yang menjadi penyebab sebuah perpisahan ini. Entahlah, apa aku bisa berhenti membasahi bantal tidurku dengan air mata sebelum aku tidur ? apa aku bisa berhenti terbangun dengan mata yang sembab ? apa aku bisa berhenti menyakiti diri sendiri ? Aku hampa! Aku tak berdaya! Aku seolah kehilangan semangat, kehilangan arah tujuan hidup.

Aku memandangi langit-langit kamar. Aku mencoba melupakan, tapi begitu sulit! Kenangan demi kenangan sudah terpatri kuat di otakku. Kenangan yang seakan-akan dia buat agar tidak mudah dilupakan. Rasanya sangat mustahil bisa benar-benar melupakannya. Hampir tak ada celah di hatiku yang tidak dipenuhi oleh dia. Aku masih ingat persis semua rencana-rencana kita, rencana menjalani hidup berdua, menjalani masa depan berdua, dan berjuang bersama-sama berdua. Namun nyatanya, kini semua mimpi itu hanya akan tetap menjadi mimpi yang takkan pernah terwujud. Hanya sebuah dongeng sebelum tidur yang diceritakan agar tidurku nyenyak. Sudahlah! Rasanya beratus-ratus haripun takkan cukup untuk mengenang kejadian demi kejadian yang dilalui bersama dengannya.

Belum begitu sembuh luka di hatiku. Tiba-tiba mata ini nanar, hati ini begitu sakit, aku melihat dia lagi! Ya.. Aku melihat dia lagi setelah sekian lama aku berhibernasi darinya. Namun kali ini ada yang berbeda, selain wajahnya yang terlihat lebih tampan, kini dia menggenggam tangan seorang wanita. Benarkah? Apa aku hanya berhalusinasi? Aku mencoba meyakinkan diri. Di antara kerumunan orang banyak, aku mencoba mencari-cari dia yang sempat ku lihat, memastikan pandangan yang sempat tersirat. Ternyata benar! Dia menggenggam tangan seorang wanita, yang mungkin kekasih barunya. Mereka terlihat sangat akrab, bercanda tawa bersama, dan bersenang-senang bersama, seperti aku dengannya dulu. Aku melihat senyumannya lagi, senyumannya yang menawan, yang dulu selalu bisa mencairkan hatiku yang beku. Namun kali ini senyumnya lebih berbinar-binar, lebih terukir dengan indah, seperti tidak ada beban yang disembunyikan. Mungkin sekarang dia telah menemukan orang yang tepat baginya, orang yang benar-benar bisa memahami jalan pikirannya. Dia telah menemukan orang yang menggantikan kewajibanku dulu. Kembali lagi padaku, mungkin hal itu tak pernah tersirat lagi di pikirannya.

Seketika aku tak bisa berbuat apa-apa, seperti ada yang tertancap kuat di hatiku, aku tuli, aku bisu! Di antara kerumunan orang banyak aku masih merasa sepi. Ingin rasanya aku berteriak keras di depan wajahnya, meluapkan segala yang ada di hatiku, namun sekarang sudah tidak mungkin lagi. Ketahuilah, Aku akan terus menerus berusaha ikhlas, menahan air mata yang takkan lagi aku teteskan untuknya. Setidaknya aku sudah bisa melihat dia tersenyum, walaupun bukan karena aku. Mungkin tanpa aku, dia akan lebih bisa bahagia.

Kini aku sadar, cinta yang selama ini membuai hatiku, cinta yang selalu bisa menerbangkan angan – anganku, tak cukup kuat untuk membuatnya bahagia. Dia adalah sesuatu yang selalu ku tulis, namun aku adalah sesuatu yang tak pernah dia baca. Ketika aku kembali ke persimpangan jalan dekat rumah, sebuah kenangan yang masih terselip secara tak disengaja teringat kembali. Andai dulu aku tidak berlari meninggalkannya, mungkin sekarang genggaman tanganku lah yang masih menghangatkan tangannya.

Dibuat 26 Desember 2012
01.06

Selasa, 25 Desember 2012

Rintikan Hujan di Jendela Kamar


Pemandangan kecil yang selalu aku lihat. Rintikan hujan yang menempel di jendela kamar. Setiap tetesnya menyatu satu sama lain seperti membentuk sebuah kelompok. Namun kemudian mereka akan mudah hilang bila terkena tetesan lainnya. Terus menerus seperti itu hingga tak ada lagi tetesan air yang menempel di jendela kamar. Secepat itu mereka pergi tanpa jejak. Karena mereka hanya rintikan air hujan yang selalu menghiasi jendela kamarku. Mereka hanya ada ketika hujan, itulah mengapa mereka patut dirindukan.

Sesudah hujan, aku hanya melihat sisa-sisa dari mereka yang menempel di dedaunan.  Mereka seolah mencoba bertahan walau akhirnya pasti akan terjatuh juga. Sebagian lagi masih ada yang tergenang di tanah. Mereka bisu dan diam, hanya menunggu tanah-tanah merah menyerap mereka perlahan demi perlahan. Perlu diingat, mereka hanya rintikan air hujan. Yang dengan pasrahnya jatuh dari awan-awan mendung, mereka tak peduli seperti apa dasar yang akan mereka injak. Mereka mengalir, mereka mengikuti, kemanapun arah yang membawa mereka pergi. Tanpa pernah mencoba melawan arus. Perlu ditegaskan lagi, karena mereka hanyalah rintikan air hujan yang pasrah.

Mereka tak pernah mempersalahkan takdir yang membuat mereka menjadi sekedar rintikan air hujan. Yang hidupnya begitu singkat. Yang kadang dibenci oleh orang-orang; dan juga disenangi oleh orang-orang. Mereka bisa saja membawa petaka, tapi bisa juga membawa anugrah. Apapun yang orang lain jadikan patokan, adalah nilai yang berarti bagi mereka. Semua tergantung pernilaian orang-orang yang beranggapan macam-macam tentang mereka. Bahkan pohon-pun tak pernah mempersalahkan rintikan air hujan yang membuatnya basah. Lalu mengapa manusia mempersalahkan mereka yang bisa membuat petaka di bumi? Banjir misalnya. Jangan salahkan mereka! Perlu digaris bawahi, mereka hanya rintikan air hujan yang bisu. Manusia hanya perlu berintrospeksi, bagaimana bisa mereka kembali lagi menjadi hujan, jika tanah yang merupakan sumber serapan tempat mereka kembali sudah tak ada lagi di bumi? Mereka hanya akan menjadi hal yang jahat jika kita biarkan terus seperti ini. Mereka hanya akan menjadi momok menakutkan jika kita biarkan mereka tak kembali lagi ke tanah. Ingatlah! Mereka mengikuti semua arah pijakan tempat mereka jatuh dari awan.

Aku rindu! Aku rindu rintikan hujan di jendela kamar. Mereka tampak begitu indah seperti menyatu dengan harmoni alam. Kembalikan mereka seperti dulu! Damai tentram menjalani hidupnya yang singkat. Jangan jadikan mereka sebagai cambukan bagi masyarakat, menjadi sesosok monster yang seakan-akan bisa menghancurkan semuanya. Sudah berapa kali aku bilang, mereka hanya rintikan air hujan. Semuanya kembali lagi ke diri kita sendiri, akan menjadi hal apakah rintikan air hujan itu. Biarkan mereka mengalir ke tempat yang seharusnya mereka kembali, ke tempat yang sudah ditakdirkan oleh hukum alam. Janganlah mengganggu siklus kehidupan mereka yang singkat! Ketahuilah, apapun yang dipijak, itulah yang akan membawa mereka pergi. Kembalikan pijakan mereka! Pijakan tanah-tanah subur yang menjadi tujuan mereka seharusnya. Bukan jalanan aspal yang keras dan meracuni mereka.

Aku pasti akan merindukan hal itu, ketika mereka membuat sebuah kelompok kecil di jendela kamarku, berbaris dengan rapih kemudian terjatuh. Kemudian menempel di dedaunan yang membuatnya subur. Menjadi sebuah hal yang lebih berguna. Sederhana sekali, berawal dari rintikan air hujan di jendela kamar, kini setidaknya mereka bisa lebih dipedulikan.

Dibuat 25 Desember 2012
14.48
Ketika air hujan membasahi kota cirebon

Minggu, 23 Desember 2012

Harapan Tak Sebanding Kenyataan


Ada kalanya aku berharap. Setiap detik yang aku lewati pasti diiringi dengan secercah harapan. Harapan yang bahkan tak sebanding Kenyataan. Harapan yang entah kapan terwujudkan.

Aku lahir. Aku tumbuh. Aku belajar. Aku bermimpi. Dan akhirnya Aku berharap. Adakah yang salah ketika aku berharap? Apakah berharap adalah sesuatu yang diharamkan? Tak pernah aku mengerti dengan kecilnya harapan yang terwujud, tapi masih saja aku bisa berharap banyak.

Harapan seringkali menyiksaku, seolah membunuhku secara perlahan. Ketika aku menempatkan ekspetasi yang terlalu ditinggi, saat itulah aku pasti terjatuh pada kekecewaan. Mungkin banyak di luar sana orang-orang yang takut berharap, mereka takut untuk merasakan kekecewaan yang mendalam. Tapi bukankah semua hal berawal dari 'berharap' ? Tak ada hal yang muncul secara instant dengan sendirinya. Semua pasti butuh harapan, agar kita tau kemana arah tujuan, yang mungkin bisa membawa kita pada kesuksesan.

Harapan, yang seringkali tak sesuai yang diharapkan. Harapan seolah menempatkan dirinya pada bagian terpenting di kehidupan. Harapan bagaikan satu-satunya jalan yang membawa kita pada kedamaian.
Aku sering berharap, aku mempunyai harapan. Terkadang aku menggunakan harapanku sebagai amunisi disaat aku terjatuh. Tapi terkadang pula, justru harapan itulah yang membuat aku terjatuh. Setiap harinya aku berteman dengan harapan, harapan bisa menjadi teman yang selalu menyemangati, walau sosoknya tak ada, walau sebenarnya harapan dibuat oleh hati kita sendiri.

Janganlah takut berharap jika dalam kenyataan harapan-lah yang membawamu sampai sejauh ini. Sampai ke titik yang kamu idamkan. Sesungguhnya, orang yang paling kaya di dunia adalah orang yang memiliki banyak harapan di hatinya.

Dibuat 21 Desember 2012
01.17

Senyuman

Senyuman; hal yang paling mudah yang bisa kita lakukan, tapi bisa saja menjelma menjadi hal yang paling susah untuk dilakukan.

Kita mungkin bisa saja tersenyum pada semua orang, tapi pernahkah berfikir arti dibalik senyuman manis itu ?

Aku tidak setuju dengan persepsi orang banyak bahwa "tersenyum = bahagia", Apa kita harus tersenyum ketika bahagia? Atau kita harus bahagia ketika tersenyum? Sayangnya banyak orang-orang di luar sana yang membenarkan persepsi itu. Aku tidak paham, bagaimana bisa mereka tersenyum? Jika mereka harus merasa bahagia. Bukankah setiap orang mempunyai masalahnya sendiri? Bukankah setiap orang mempunyai penderitaan yang berbeda beda?

Beda halnya dengan pernyataan "Untuk apa memaksakan tersenyum jika hati sedang bersedih". Sekarang berfikirlah ke arah logika, jangan ego dengan perasaan sendiri. Kita hidup di dunia bukan hanya sendiri, di luarsana mungkin ada orang yang menunggu senyuman kita, bahkan ada yang harus berjuang untuk melihat senyuman kita, meskipun hanya satu orang. Tersenyumlah, jika itu dapat membuat orang lain bahagia.

Tersenyumlah, bukan untuk menipu diri sendiri, tapi untuk menyembuhkan luka di hati. Jangan menunggu orang lain datang untuk membuat kita tersenyum, mengertilah mereka juga mempunyai masalah, mereka juga sedang berusaha untuk tersenyum, jangan memperberat tugas mereka yang nyatanya senasib dengan kita. Tersenyumlah, karna sumber kebahagiaan sebenarnya ada di dalam hati kita sendiri. Tersenyumlah, karna itu akan menenangkan hati kita dan orang lain yang bernasib sama.

Aku paham sekali dengan beratnya tersenyum ketika bersedih. Tapi setidaknya aku tidak mau merepotkan orang lain untuk merasakan kesedihan ini. Aku takkan membiarkan diri ini terhanyut dalam kesedihan yang mendalam.

Don't waste your time, don't waste your tears. Just smile, and enjoy life!

Dibuat 16 Desember 2012
09.20