Jumat, 22 Februari 2013

Sepotong Senja untuk Calon Pacar

Calon pacar tercinta,

Bersama surat ini kukirimkan padamu sepotong senja–dengan angin, debur ombak, matahari terbenam, dan cahaya keemasan. Apakah kamu menerimanya dalam keadaan lengkap?

Seperti setiap senja di setiap pantai, tentu ada juga burung-burung, pasir yang basah, siluet batu karang, dan barangkali juga perahu lewat di jauhan. Maaf, aku tidak sempat menelitinya satu persatu. Mestinya ada juga lokan, batu yang berwarna-warni, dan bias cahaya cemerlang yang berkeretap pada buih yang bagaikan impian selalu saja membuat aku mengangankan segala hal yang paling mungkin kulakukan bersamamu meski aku tahu semua itu akan tetap tinggal sebagai kemungkinan yang entah kapan menjadi kenyataan.

Kukirimkan sepotong senja ini untukmu Sayang, dalam amplop yang tertutup rapat, dari jauh, karena aku ingin memberikan sesuatu yang lebih dari sekedar kata-kata.

Sudah terlalu banyak kata di dunia ini, dan kata-kata, ternyata, tidak mengubah apa-apa. Aku tidak akan menambah kata-kata yang sudah tak terhitung jumlahnya dalam sejarah kebudayaan manusia.
Untuk apa? Kata-kata tidak ada gunanya dan selalu sia-sia. Lagi pula siapakah yang masih sudi mendengarnya? Di dunia ini semua orang sibuk berkata-kata tanpa peduli apakah ada orang lain yang mendengarnya. Bahkan mereka juga tidak peduli dengan kata-katanya sendiri. Sebuah dunia yang sudah kelebihan kata-kata tanpa makna. Kata-kata sudah luber dan tidak dibutuhkan lagi. Setiap kata bisa diganti artinya. Setiap arti bisa diubah maknanya. Itulah dunia kita Sayang.

Kukirimkan sepotong senja untukmu Sayang, bukan kata-kata cinta. Kukirimkan padamu sepotong senja yang lembut dengan langit kemerah-merahan yang nyata dan betul-betul ada dalam keadaan yang sama seperti ketika aku mengambilnya saat matahari hampir tenggelam ke balik cakrawala.

Calon pacarku yang manis, Calon pacarku yang sendu, Akan kuceritakan padamu bagaimana aku mendapatkan senja itu untukmu.

Aku, Hanyut dan Akhirnya Lepas

Aliran air mengenai bebatuan hitam di atas sana, semakin ke bawah, sang air pun mengalir kian deras, menuruni setapak demi setapak undakan yang terjadi di jeram mini itu. Sepertinya pemandangan itulah yang harus kusaksikan kali ini, saat-saat ia akan melepaskanku bersama perahu yang muat dengan ukuranku, melalui air terjun yang semakin bertubi-tubi.

Aku tahu, begitu menyentuh air, nyawaku pun akan terhapus, luntur dan seakan hanyut ditelan derasnya air sungai. Ingatanku tentangmu – dan tentang manusia itu – akan segera memudar, seperti salah satu adegan dalam film Eternal Sunshine of The Spotless Mind, yang diperankan oleh aktor ternama yang selalu kamu sebut namanya, Jim Carey dan Kate Winslet. Berkali-kali kamu ucapkan, “Andai di dunia nyata, kita mengenal Lacuna.Inc, perusahaan yang bisa bikin aku ngelupain dia seutuhnya!” dan sekali lagi kamu ucapkan bahwa kamu ingin melupakan segenap kenangan bersamanya.

Merelakan dan melupakan adalah suatu hal yang sulit, teman. Setidaknya, kamu memiliki otak, dan ingatan, yang akan secara otomatis menyimpan data-data kenangan manis yang telah kamu rangkai bersamanya. Dan kamu ingin melupakan semua itu? Merelakannya pergi, untuk tak pernah kembali lagi?

Aku cemburu, aku sangat cemburu padamu, hey wajah manis yang berdiri di tepian sungai ini. Kamu bisa mengingat kisah-kisah indahmu itu dengan jelas, sedangkan aku? Aku hanyalah seonggok kertas yang dijilid dengan ring besi di tepiannya, bertorehkan coretan-coretan kata pelampiasan hati atas apa yang telah terjadi. Kamu dan aku, berkomunikasi di sini, dari hatimu, turun ke tangan, dan langsung menembus hatiku pelan-pelan. Ingatanku tentangmu, dan tentangnya, hanya terdapat dalam tinta warna-warni yang mulai menghilang ini.

Dan aku tahu, pertama kali kamu menatapku, kemudian menggenggam tubuhku erat, aku seakan berkata padamu, “Halo, aku memang tercipta untukmu, kawan!”

Tiga tahun indah bersamamu, suka, duka, tangisan histeris, sedikit ingus yang menggenang di permukaan kertasku, hingga mengalami rasanya dilempar olehmu, untuk kemudian dipeluk erat kembali. Tangan itu hangat, sangat hangat.

Dan kini, aku tahu, sudah terlalu pahit untuk tetap bersamaku, mengetahui setiap cerita yang kamu miliki, selalu berkisah di dalam tubuh-tubuh kertasku yang sudah mulai menguning. Untuk itulah, kamu harus melepaskanku, dari genggamanmu, bahkan dari ingatanmu.

Jika menurutmu ini berat, bagiku, melepaskanmu seakan menghempaskan nyawaku. Karena nyawaku, bergantung pada tinta dan kata-kata yang selalu kamu ungkapkan padaku. Karena seluruh hidupku, adalah untuk menjadi sahabat setiamu, menemani setiap perasaan kesepian ataupun bahagiamu.

Satu jeram..
Dua jeram..
Tiga jeram terlewati...

Dan akupun kian luntur, kertasku pun kian melunak, dan kemudian tersobek perlahan. Selamat tinggal, bersama air dan perahu kertas mini berwarna jingga, aku akan pergi, dan aku akan melepaskanmu - harus melepas seluruh nyawaku, yang merupakan kenangan dan kisahmu di permukaan tubuhku.
Terimakasih ya, terimakasih atas semuanya…

Spasi

Spasi itu bumbu kalimat. Kalau spasi nggak ada, mungkin sebuah kalimat akan terasa hambar, seperti  teh tanpa gula, atau nasi tanpa lauk.

Itu adalah spasi dalam rangkaian kalimat, elemen terkecil pembentuk cerita.

Lalu, bagaimana dengan spasi dalam kehidupan nyata?

Spasi berarti jarak. Huruf-huruf alfabetik perlu spasi agar bisa diartikan menjadi sebuah kata, atau bahkan kalimat. Sedangkan manusia memerlukan jarak, agar bisa mengartikan sesuatu rasa yang biasa disebut dengan "rindu".

Walaupun, sebenarnya, langkah untuk membuat spasi itu menyebalkan, bukan?

Di antara kedinamisan kalimat, yang dilahirkan oleh sebuah spasi, diksi tersebut harus menghadapi kekosongan dulu.

Karena spasi itu berarti jarak, spasi berarti ruang hampa, dan spasi berarti kosong.

:)

untuk orang-orang yang akan atau telah membuat spasi, dan membentuk sebuah kalimat bernama memori.