Senin, 27 Juni 2016

Hanya Sebuah Tulisan


Layaknya sungai, hidup terus mengalir. Namun entah kapan akan sampai ke hilir.
Layaknya angin, rasa sakit kadang datang, lalu tertiup. Namun entah bagaimana luka akan tertutup.
Layaknya senja, kamu begitu indah, hingga membuat hatiku tergugah. Namun entah kapan kamu akan singgah.

Aku sempat berharap pada bulan, untuk menerangiku dikala malam. Namun aku dikhianati oleh gerhana.
Lalu aku meminta pada matahari, untuk tetap hangat di siang hari. Namun ia tak mau berhenti, membakar peluh di lubuk hati.
Terakhir kali, aku berbincang dengan langit, agar ia cerah di esok hari. Namun lagi, harapan ditebas mati oleh awan mendung.
Hingga pada akhirnya aku tak ingin lagi, sedikitpun menaruh harapan, pada semua yang ku anggap akan memberi kebahagiaan. Karena memang pada akhirnya, aku tak mendapatkan apa-apa selain kekecewaan.

Aku telah melewati, jalan yang berliku, tebing yang curam, palung yang dalam. Namun hal yang paling aku takuti, kamu yang hilang di hari yang kelam.
Seperti ada anak panah yang tertancap di dada, hatiku mati suri. Dan entah kapan akan hidup lagi.
Lalu aku menjadi buta, pada ketulusan yang orang lain beri. Ku anggap mereka bermuka dua, senyuman adalah topengnya.

Aku terus menyusuri luka hati, entah apa yang ku cari. Karena tak ada yang lain selain namamu yang telah terpatri.
Hingga aku lupa, untuk menyembuhkan luka aku harus berhenti menyentuhnya.
Memang, mengingatmu adalah cara agar aku tak lupa bagaimana rasanya bahagia. Dan bagaimana seseorang yang memberikan kebahagiaan terbesar, adalah orang yang sama yang akan memberikan kesedihan di luar nalar.

Kini aku telah berhenti.
Berkatmu, aku tak tahu bagaimana cara membuka hati. Semua tampak semu, palsu, dan rancu.
Yang ku ingat hanya senyum menawan, dan sorot mata teduhmu. Yang tetap hangat meski hanya di angan, hingga menjadi candu.

Satu hari, aku merasakan segalanya.
Hari lain, aku tak merasakan apapun.
Aku tak tahu mana yang lebih buruk, tenggelam dibawa ombak, atau mati karena kehausan.

Jumat, 10 Juni 2016

Merindukanmu Malam Ini


malam ini, rindu datang menyapa.
entah dari mana asalnya dan sebab apa
ia pulang berkelana dan mecatut nama tepat di kepala
yang seharusnya bukan kau juga bukan siapa-siapa
rindu adalah pedang bermata dua
dan pikiran yang menghunuskannya
aku ditikam di bagian dada dengan santun, perlahan, dan dalam
padahal cahaya cinta telah lama padam
andaikata rindu adalah dosa
ini adalah contoh kecil api neraka
yang begitu menyiksa dada.
membuat mata berkabut
bibir ini merengut
nadi berdenyut
aku selalu berlatih keras
menyiksa diri untuk terlihat baik-baik saja
meskipun kenyataan berbicara
pikiran dan hatiku cemas
kau memang telah pergi, tak peduli seberapa jauh
namun rindu ini membuatmu terasa dekat
sebab kita pernah saling berlabuh
hingga memutuskan minggat
melihat kenangan melambaikan tangan
mengajak ingatan berdansa
membangkitkan angan
membangunkan rasa
aku hanya ingin mendengar suaramu
meski kusadar betul hak itu bukan atas izinmu
walau pun kau hanya bayang semu
tak kutampik kuharap sebuah temu
hai, apa kabar kau di sana? di sini aku hanya bisa berdoa
semoga kau selalu bahagia dan baik-baik saja
semoga kau masih ingat aku, tidak pun tidak apa-apa
tulisan ini hanya sebagai sebuah salam
dari aku yang sedang merindukanmu

Senin, 06 Juni 2016

Kepada Kamu yang Berikutnya


Mungkin kamu sedang menerka-nerka esok hari akan kau jatuhkan hatimu dengan pasrah pada sesiapa. Sebab kamu tak pernah tahu kapan semesta membuka kotak kejutan yang berisi jawaban dari rahasia waktu.

Perihal hari-hari kemarin yang berisi langkah kaki pencarian melelahkan, mengembalikan keyakinan yang sempat hancur untuk kembali utuh, dan memantapkan arah hati untuk menuju. Pada akhirnya kita akan menemukan titik untuk berhenti.


Siapkah kamu untuk tidak menyakiti, mengkhianati, dan mengecewakan kita?

Siapkah kamu tanpa paksaan mengkehendaki hatimu untuk berhenti padaku dan tak pernah sudi membaginya kepada siapa pun, selain aku?


Siapkah kamu untuk menjatuhcintakan kita berkali-kali sampai waktu mengerahkan usaha terakhirnya untuk memisahkan kau dan aku?


Siapkah kamu tersenyum ikhlas saat takdir mempertemukan kita nanti hingga ribuan hari setelahnya kita bertukar senyum ketika hela napas terakhir salah satu dari kita direnggut oleh ujung usia?


Siapkah kamu membuat Tuhan menggelengkan kepala melihat betapa gigih perjuangan kamu dan aku dalam mempertahankan kita?

Di dalamnya akan kita dapati banyak perdebatan, menorehkan luka yang melahirkan kecewa, bahu membahu menciptakan bahagia, merajut doa, menabahkan dada yang penuh rindu, sampai suatu saat muncul sebuah batas, tapi apakah kamu bersedia menyanggupi diri untuk tidak menghiraukan batas itu?

Siapkah kamu untuk meniadakan kehilangan atas rasa kita?

Kepada kamu yang berikutnya, semoga jatuh cinta padamu adalah jawaban dari pertanyaan tentang pertemuan apa yang tidak memiliki penyesalan.

Minggu, 05 Juni 2016

Seharusnya Kita


Aku masih saja menyusuri jalan-jalan yang sungguh masih sama hanya keadaannya saja yang berbeda. Kaki kita pernah meninggalkan debu bekas langkah yang beriringan walau ruang dan waktu telah memandu kau dan aku pada sebuah tujuan yang lain.
Apa daya? Aku hanya perlu terpejam untuk melihat keindahanmu yang bagaikan perpaduan pagi muda dan senja yang terlihat dari bibir pantai, dan tentu saja, mengingat senyummu adalah cara bunuh diri yang sering kulakukan ketika rindu menancapkan belati ke dadaku kala sepi berperan sebagai pintu masuk beranda kenangan.
Kenangan adalah salah satu rahasia waktu yang membuat kita melanggar batas kemampuan mengingat. Hidup ini mungkin akan lebih sederhana apabila kita bisa dengan mudah menghapus memori yang tidak ingin diingat lagi, karena pada hakikatnya kapasitas ingatan manusia itu tumpang tindih; melupakan memori lama dengan mengingat yang baru. Namun sayangnya, tak sesederhana teori.
Sebab, ikhlas itu seni bertarung melawan diri sendiri ketika menikmati luka mahasakit dalam proses kehilangan sesuatu yang terlalu bernilai untuk direlakan dan dipasrahkan kepada kenyataan.
Atas nama segala rintih dari jiwa yang nyaris mati dan tanpa cahaya akibat terbenam dalam hitamnya dunia tanpa harapan. Mengikhlaskanmu, kurasa ialah perbuatan terjahat yang harus dilakukan demi mengalahkan kehendak hati untuk kebaikan di hari esok.
Seharusnya aku berpikir dan sadar sedari awal, tidakkah kita menjadi korban atas pertempuran ego yang pada akhirnya melukai kita dan meniadakan cinta?
Seharusnya kau berpikir dan paham sejak dini, bahwasanya kenangan ialah arah kita pulang menuju pelukan, sayangnya kita memilih berpisah untuk menuju raga baru yang menjadi rumah persinggahan.
Seharusnya aku dan kau bisa berdamai dan memakamkan masa lalu agar setiap malam bisa tidur dengan tenang tanpa perlu menyesalinya yang sudah-sudah.


Seharusnya kita –melakukannya dengan cara– tidak pernah bertemu.