Aku masih saja menyusuri jalan-jalan yang sungguh masih sama hanya keadaannya saja yang berbeda. Kaki kita pernah meninggalkan debu bekas langkah yang beriringan walau ruang dan waktu telah memandu kau dan aku pada sebuah tujuan yang lain.
Apa daya? Aku hanya
perlu terpejam untuk melihat keindahanmu yang bagaikan perpaduan pagi muda
dan senja yang terlihat dari bibir pantai, dan tentu saja, mengingat
senyummu adalah cara bunuh diri yang sering kulakukan ketika rindu menancapkan
belati ke dadaku kala sepi berperan sebagai pintu masuk beranda kenangan.
Kenangan adalah
salah satu rahasia waktu yang membuat kita melanggar batas
kemampuan mengingat. Hidup ini mungkin akan lebih sederhana apabila kita
bisa dengan mudah menghapus memori yang tidak ingin diingat lagi, karena pada
hakikatnya kapasitas ingatan manusia itu tumpang tindih; melupakan memori lama
dengan mengingat yang baru. Namun sayangnya, tak sesederhana teori.
Sebab, ikhlas
itu seni bertarung melawan diri sendiri ketika menikmati luka
mahasakit dalam proses kehilangan sesuatu yang terlalu bernilai untuk
direlakan dan dipasrahkan kepada kenyataan.
Atas nama segala
rintih dari jiwa yang nyaris mati dan tanpa cahaya akibat terbenam dalam
hitamnya dunia tanpa harapan. Mengikhlaskanmu, kurasa ialah perbuatan
terjahat yang harus dilakukan demi mengalahkan kehendak hati untuk
kebaikan di hari esok.
Seharusnya aku berpikir
dan sadar sedari awal, tidakkah kita menjadi korban
atas pertempuran ego yang pada akhirnya melukai kita dan meniadakan
cinta?
Seharusnya kau berpikir
dan paham sejak dini, bahwasanya kenangan ialah arah kita pulang
menuju pelukan, sayangnya kita memilih berpisah untuk menuju raga
baru yang menjadi rumah persinggahan.
Seharusnya aku dan kau
bisa berdamai dan memakamkan masa lalu agar setiap malam bisa tidur dengan
tenang tanpa perlu menyesalinya yang sudah-sudah.
Seharusnya kita
–melakukannya dengan cara– tidak pernah bertemu.
0 komentar:
Posting Komentar