Bohong jika aku berkata bahwa hidupku tanpa ketakutan. Aku takut kesepian, aku takut kehilangan, aku takut ditinggalkan. Namun justru kesemuanya itu yang kurasakan. Seolah apa yang diri ini pernah lakukan tak ada gunanya. Hanya seperti sekam yang ditiup angin. Hati ini teriris. Tak tahu sampai kapan lukanya terus menganga.
Terlalu muluk rasanya jika aku katakan hidupku adalah hidup
dalam pujian. Pujian terkadang memang ada untukku. Namun hanya orang yang tak mengenalku yang melakukannya. Ketika mereka berbalik mengenalku, tak ada lagi pujian yang kudengar, yang ada hanyalah tuntutan. Aku bahkan tak punya pilihan, yang mereka tahu aku harus melakukannya. Sesulit inikah mendapatkan pujian dan pengakuan?
Terlalu sempurna jika aku katakan hidupku tanpa penolakan. Aku ada sebagaimana adanya diriku. Bukan berarti aku tak ingin berkembang dengan membatasi
diriku. Tentu aku ingin berubah, berubah menjadi pribadi yang lebih baik. Hanya saja asa ini tak cukup untuk membuat diriku berubah. Tak tahu apa yang salah. Apakah memang tak dapat dirubah atau perlu waktu yang sangat
lama. Tapi sekelilingku, justru dari orang-orang yang aku sayangi, menuntutku untuk segera berevolusi. Seolah mereka hanya ingin diriku yang sempurna. Kecacatan diriku adalah suatu kejijikan bagi mereka. Ejekan hampir menjadi hal yang biasa kudengar.
Seolah tak ada dukungan,
apalagi penghargaan. Hati ini sungguh terluka. Apa makna diriku bagi mereka?
Terlalu naif jika kukatakan aku hidup dengan kelembutan. Masa kecilku dipenuhi dengan hukuman. Tiap kesalahan yang aku buat berarti kesakitan untukku. Aku tak pernah rasakan sebuah pelukan hangat Aku tak pernah rasakan usapan di kepala. Aku tak pernah rasakan kecupan selamat malam. Aku hanya bisa mendapatkannya dari orang-orang yang tak
mengenal diriku. Apakah aku seorang anak yang hilang?
Setiap detik aku lewati bukan tanpa makna. Aku lakukan sepenuh hati sebaik yang aku bisa. Tapi ketika waktunya memanen hasil, tak ada yang menegur ataupun melihat. Orang-orang terdekatku, yang aku sayangi, semua hanya memalingkan muka seolah hal yang biasa. Dimanakah aku di hati mereka?
Ketakutanku
takkan menambah sehasta saja pada jalan hidupku. Kepedihan
hati hanya akan mematahkan semangat. Semangat
yang patah mengeringkan tulang. Siapa yang
akan memulihkan semangat yang patah? Hidup
bukan tentang ketakutan. Hidup itu
tentang damai sejahtera dan sukacita.
Hidup pun
tak seharusnya mengejar pujian. Karna aku
dikasihi, aku ditegor dan dihajar. Tak ada
maksud buruk dari perlakuan mereka terhadapku. Hanya
cara yang salah dalam aku memandang. Tak ada pula
yang mengatakan bahwa pembentukan karakter itu nikmat. Merelakan
hati untuk dibentuk, merelakan
hati untuk merasakan sakit, karena
pukulan dan tempaan akan menghasilkan bejana yang indah.
Seperti
pelangi sehabis hujan. Segala
sesuatu indah pada waktunya.
0 komentar:
Posting Komentar