Tidak ku mengerti.
Ya, aku tak pernah mengerti apa maksud Tuhan merancang 
kehidupan. Setauku, hidup hanya sesederhana berjuang, berbahagia, kemudian 
bersedih kembali. Manusia? Ah, kita hanya sama-sama menghindari kematian yang 
akhirnya akan kita rasakan juga.
Aku selalu berpikir. Apa yang akan ku persembahkan pada dunia 
yang singkat ini. Pada dunia yang terlalu banyak memiliki aturan, dalam 
paradigma hidup yang hanya sementara. Pada dunia yang dipenuhi manusia dan 
kepentingannya masing-masing.
Terlalu banyak kesemuan. Manusia yang terlihat oleh pelupuk 
mata namun ia tak pernah benar-benar ada. Kalaupun ia ada, ia telah kehilangan 
dirinya sendiri. Topeng yang setiap hari kita pakai, apa membuat hidup menjadi 
lebih baik?
Lelucon apa ini. Manusia berlomba-lomba menjadi sosok yang 
baik. Namun dalam prosesnya, terlalu banyak ia yang disakiti. Terlalu banyak 
yang mengaku ingin membahagikan, dengan cara mencampakkan.
Dunia ini terlalu penuh oleh kata-kata. Kata yang bahkan tak 
pernah dipertimbangkan sebelum diluapkan. Kata yang membuat kita berpikir kita 
baik-baik saja walau tak pernah diperjuangkan. Manusia terlalu banyak 
berkata-kata. Tanpa peduli apakah ada yang ingin mendengarkan. Ia tetap bertutur 
kata meski di luar aturan.
Berapa banyak manusia yang benar-benar mengerti akan hidup? 
Agar ia tak menyia-nyiakan apa yang selama ini ia dapatkan secara cuma-cuma. Ya, 
dunia. Kita bebas hidup di dalamnya. Menebar kebahagian hingga meracuninya 
sendiri. Tertawa pada penderitaan manusia lain yang suatu saat akan ia 
alami.
Aku hanya penasaran. Bila dunia berakhir, siapa yang akan 
berterimakasih padanya. Atas segala kepalsuan, ketamakan, dan kepuasan manusia 
yang telah dunia tampung.
Dunia. Bila kau manusia, mungkin aku akan memelukmu erat-erat. 
Terimakasih, atas pertualangan hidup yang telah aku jalani yang suatu saat akan 
berakhir.
Karena Dunia memberimu tempat untuk hidup, jangan pernah salahkan dunia atas segala kekacauan yang membuat jalanmu redup.


